Kamis, 02 Februari 2012

Pernikahan Simulasi (Bagian 6)




Aku menjalani masa-masa kehamilan selayaknya perempuan-perempuan hamil yang lainnya. Gak boleh begini, gak boleh begitu, gak bisa ini gak bisa itu, gak boleh makan ini gak boleh makan itu. Setiap hari selalu dicereweti Ibu yang tiap hari telpon buat memastikan kalau anak perempuanya ini bener-bener baik-baik saja. Menyebalkan tapi aku nikmati saja saat-saat seperti ini. Mungkin inilah asyiknya pernak-pernik jika menjadi calon ibu.

Idan juga makin memanjakanku. Tiap hari ia membelikanku berbagai macam hadiah kejutan. Katanya biar aku senang. Jika aku senang maka anak dalam kandunganku pun juga senang. Apapun yang kumau juga diusahakan oleh Idan untuk dipenuhi. Idan menuruti saja apa kata ibu yang bilang kalau orang hamil minta sesuatu tidak dituruti, maka anaknya nanti akan jadi ngileran. Ah tahayul menurutku. Emang ada penjelasan ilmiahnya?

Tapi ada untungnya bagiku karena aku jadi bisa minta apa aja ke Idan. Tapi aku juga masih perasaan karena aku juga tak mau membuat Idan makin kelimpungan di samping kesibukannya mencari nafkah yang sebenarnya aku sendiri juga mensuplai cukup banyak untuk kebutuhan rumah tangga kami.

Dalam masa kehamilan ini sebenarnya aku tidak terlalu rewel untuk masalah makanan dan susu nutrisi ibu hamil. Cuma mungkin jadi agak sensi ketika bertemu dengan makanan yang bersantan dan berbau menyengat karena bau yang dalam kondisi biasa akan tercium biasa saja, kali ini akan tercium berlipat-lipat lebih menyengat dan membuatku mual-mual.

Idan pun menyesuaikan diri dengan membuat makanan-makanan yang baunya tak terlalu menyengat, jika membuat sayur menghindari yang bersantan dan dia harus rela meninggalkan makanan kesukaannya: gulai yang paling tidak harus ia hindari sampai aku melahirkan nanti. Makan di luar? Tetap tidak bisa karena jika pulang nanti pasti aku masih bisa mencium baunya.

Setiap hari Idan sibuk membuat list apa saja yang harus dibeli untuk kebutuhan bayi kami nanti. Ia bahkan membeli banyak buku-buku tentang kehamilan dan persiapan melahirkan mulai dari tips dan trik sampai buku tentang nama-nama anak yang bagus. Aku bahkan belum sempat membaca buku-buku itu. Kulihat Idan juga jarang membacanya. Lalu untuk apa dibeli? Mungkin gejolak sesaat saja karena ia masih gugup mengetahui dirinya akan menjadi calon ayah buat anak pertama kami ini.

Aku masih bekerja meskipun mungkin agak berkurang intensitasnya. Idan sudah melarangku bekerja. Namun itu berarti aku harus meninggalkan pekerjaanku sekarang dan aku gak mau itu sampai terjadi. Aku pun bersikeras kalau aku gak ngapa-ngapain justru malah akan makin bosan, susah, capek pikiran dan malah jadi gak sehat. Idan pun mengijinkanku bekerja sampai masa-masa ketika aku perlu cuti nanti dengan catatan aku tidak boleh terlalu capek, stress dan harus banyak-banyak istirahat. Aku mengiyakan saja.

Yang jelas hari-hari kehamilanku tak kurang apapun, penuh kejutan dan kebahagiaan selama ini sampai suatu sore ketika Idan pulang cepat dan mengabariku kalau ia harus tugas keluar kota.

“Aku ada tugas keluar kota Pit. Jadi kamu akan sendirian di rumah untuk beberapa waktu. Besok pagi aku berangkat”.

“Kenapa tiba-tiba sekali? Sampai berapa lama? Kok harus kamu sih? Apa gak bisa orang lain? Temen-temenmu? Nanti kalau aku butuh sesuatu ke siapa dong? Kok kamu tega sih ninggalin aku di saat-saat seperti ini?”.

Aku menjejalinya dengan pertanyaan-pertanyaan kebingunganku. Sebenarnya bukan karena “jika aku butuh sesuatu minta ke siapa” karena aku juga bisa sendiri atau minta ke ibu. Yang aku butuhkan saat ini adalah Idan. Aku butuh bersama dia, aku butuh dia menemaniku di masa-masa labilku sekarang ini.

“Kamu jangan gitu donk Pit. Bukannya aku tega. Ini murni urusan pekerjaan. Harusnya bosku yang bertemu dengan klien di sana. Tapi tadi bos mendadak tidak bisa dan dia mau aku yang menggantikannya. Dia cuma percaya sama aku buat menggantikannya mengingat proyek ini sangat penting bagi perusahaan kami. Mungkin selama hampir dua bulanan. Aku sudah telpon Ibu. Aku minta tolong beliau agar menjagamu selama aku keluar kota”.

“Lagian gak lama-lama amat kok. Kamu pasti senang ditemani Ibu di rumah. Kalian bisa sharing tentang pernak-pernik kewanitaan dan persiapan melahirkan tanpa harus diikut campuri oleh laki-laki. Ibu tentu lebih tahu tentang itu.”

Panjang lebar dia mengungkapkan alasannya. Sejujurnya aku masih gak rela jika di pergi sekarang. Saat masa-masa aku sangat membutuhkan kehadirannya namun aku tak kuasa menahannya lagi. Aku tak punya daya lagi untuk berbantah-bantahan dengannya. Tubuhku terasa lemah sekali saat hamil ini dan malas melakukan hal-hal yang menyita tenaga dan pikiran. Apalagi yang membuat stress.

Tapi bukankah saat ini saja aku sudah stress menghadapi kenyataan bahwa selama dua bulan ke depan aku akan sendirian tanpa Idan? Meskipun ditemani ibu tapi akan tetap sepi tanpa Idan. Aku heran mengapa aku jadi melankolis dan tak berdaya seperti ini? Kontras sekali dengan aku dulu yang cenderung mandiri dan tak butuh orang lain. Kulakukan banyak hal sendirian. Namun sekarang? Aku benar-benar tak berdaya jika sendiri. Tak terbayang bagaimana hari-hariku nanti tanpa Idan. Meskipun hanya sementara. Ya kuharap sementara saja.

Akhirnya kuijinkan dia dengan berat hati dan dengan segala konsekuensi. Mulai besok pagi Idan akan berangkat keluar kota dan aku akan sendiri. Aku pasti akan sangat merindukannya. Ah kuakui hari-hari yang telah kulalui dengan Idan selama ini memang tak pernah membosankan.

Mungkin akan jadi membosankan jika tanpa dia.

***

Pagi-pagi sekali Idan berangkat dijemput temannya.

“Jaga diri kalian baik-baik ya. Aku akan cepat kembali” Idan berpamitan padaku sambil mengecup keningku.

“Hati-hati di jalan” jawabku pendek.

Aku berusaha bersikap biasa saja saat dia berpamitan. Sebenarnya banyak pesan yang ingin kusampaikan padanya: jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jaga kesehatan, jangan lupa telpon aku setiap hari, jangan bikin masalah dengan orang lain, cepetan balik dan banyak lagi.

Namun semua terasa berhenti di tenggorokan. Aku sangat mengkhawatirkannya namun aku tak kuasa menyampaikannya karena aku takut ketegaranku di depannya akan runtuh seketika ketika aku berbicara lebih banyak dan tangisku tumpah. Aku jadi agak cengeng akhir-akhir ini.

“Jangan khawatirkan diriku. Justru aku yang mengkhawatirkan dirimu. Dan anak kita tentunya” Idan seperti bisa membaca gundah di benakku.

Aku mengangguk. Idan meninggalkan rumah dengan tetap menatapku. Kekhawatiran yang sangat mendalam dalam sorot matanya. Aku berusaha tetap tersenyum mengantarkan kepergiannya.

“Cepat balik!!”.

Hanya kata itu yang terakhir bisa kuteriakkan padanya dari jauh di sela-sela senduku yang tertahan. Entah kenapa aku merasa sangat khawatir kali ini.

Tangisku tumpah saat mobilnya sudah tidak terlihat. Aku buru-buru masuk rumah dan membenamkan wajahku di bantal. Aku sebal sekali kenapa aku bisa begitu cengeng sekarang.

Dulu di awal-awal pernikahan saat Idan pergi dan tak pulang-pulang bahkan aku nyaris tak peduli. Apa semua karena cinta?

Beberapa saat kemudian Ibu datang. Aku hapus air mataku dan keluar menyambut Ibu.

“Kamu habis nangis Pit?” Ibu seperti bisa menangkap apa yang barusan terjadi.

“Enggak. Cuma kelilipan tadi” sanggahku.

“Sudahlah, Idan kan Cuma pergi beberapa waktu saja. Tak akan lama. Kan ada Ibu yang menemani sementara?” Ibu seperti faham dan memaklumi kebohongaku.

Aku Cuma tersenyum. Kujawab dalam hati, Iya Bu memang tidak sendiri karena Ibu temani. Tapi hatiku yang terasa sepi karena tidak ada Idan di sisi.

***

Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu berusaha menghiburku dengan lelucon-lelucon ala tahun 70-annya tapi buatku itu tak lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.

Saat jadi sahabatku ia selalu berhasil menghiburku dengan lelucon-lelucon konyolnya bila aku lagi sedih. Meskipun kadang malah membuatku makin sebel dan dia jadi sasaran tinju dariku.

Tiap hari Idan telpon mengabarkan dia lagi dimana, menanyakan apakah aku baik-baik saja, bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan atau belum, aku lupa minum susu ibu hamil apa tidak dan banyak hal. Aku biasanya hanya menjawab pendek-pendek saja. Yang kubutuhkan saat itu hanya mendengarkan suaranya saja. Aku sudah senang.

Tanpa Idan yang setiap hari rajin mengurusku aku jadi malas makan dan malas melakukan apa saja. Bukannya aku tak menghargai kerja keras ibuku yang beberapa waktu ini mengurusku tapi sudah kubilang dari awal bahwa bersama Idan akan lain rasanya. Aku sudah terbiasa apapun dengan Idan.

“Ayolah Pit makan. Ibu sudah capek-capek membuatkanmu bubur ayam masak gak disentuh sedikitpun?”.

“Belum laper” jawabku sekenanya.

“Tapi nanti kalau kamu gak makan kan kamu sakit? Pikirkan kesehatanmu Pit! Pikirkan anakmu!” Ibu mulai menceramahiku.

“Aku maunya disuapi sama Idan”.

“Apa? Idan kan masih di luar kota? Masak ya kamu minta dia balik cepat-cepat hanya buat nyuapin kamu makan? Jangan kekanakan kamu Pit!”.

Aku diam saja. Ibu kembali ke dapur sambil ngomel. Beberapa saat kemudian datang lagi sambil bilang alau Idan telpon.

“Halo Pit?” Suara di seberang sana tampak sedang gembira sekali.

“Ya?” jawabku pendek.

“Udah makan? Kata ibu kamu susah makan akhir-akhir ini kenapa? Nanti sakit lho”.

“Aku belum lapar. Nanti aja kalau dah lapar. Atau kalau kamu sudah pulang”.

“Hah? Jangan main-main kamu Pit. Aku kan masih sebulan lagi baru balik? Sabar dong Pit pangeranmu ini akan segera datang hehe”.

Kali ini sama sekali tak lucu. Ya tak lucu.

***

Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi. Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.

Paginya aku mengalami demam tinggi. Ibu panik dan menelpon dokter. Setengah tak sadarkan diri samar-samar kudengar ibu juga menelpon keluarga di rumah buat minta bantuan segera.

Rasanya kesadaranku semakin memudar. Kurasakan nyeri yang teramat sangat di perut bagian bawahku. Sesuatu yang panas membasahi rok dan sprei tempatku terbaring. Dan selanjutnya gelap…

***

Berat mata kubuka dan seketika cahaya putih berpendar menyeruak menyilaukan pandanganku. Dimana aku? Lambat laun aku tahu bahwa aku sudah ada di rumah sakit. Di sampingku sudah ada ibu yang tertidur sambil duduk dengan kepala menyandar ke ranjang tempatku berbaring. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.

“Ibu?” pelan-pelan kubangunkan ibu. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa disini. Seingatku aku demam, kesadaranku mulai hilang dan… ya Tuhan! Nyeri di perut bagian bawahku masih terasa sampai sekarang. Bagaimana keadaan kandunganku?

“Ibu?” sekali lagi kubangunkan ibu dan pelan-pelan ibu terbangun.

“Upit? Alhamdulillah kamu sudah siuman nak!” Melihat diriku yang sudah siuman, beliau langsung berucap syukur dan memelukku.

“Dimana Idan bu? Bagaimana keadaan kandunganku?” tanpa basa-basi langsung kutanyakan apa yang masih mengganjal dalam benakku saat ini.

“Idan masih dalam perjalanan pulang Pit. Doakan saja cepat sampai”.

“Bagaimana dengan kandunganku Bu?” Sekali lagi ku ulang pertanyaanku. Namun ibu hanya tersenyum getir dan mengalihkan pembicaraan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jangan-jangan?

Tapi aku tidak mau berpikir buruk dulu. Saat ini aku masih sangat lemah dan Idan bilang kemarin kalau aku tidak boleh terlalu stress. Kubalikkan badanku membelakangi Ibu. Kuabaikan tatapan ibu dan ceritanya yang aku tahu hanya untuk mengalihkan pembicaraan kami. Yang aku inginkan saat ini masih Idan. Aku ingin Idan menemaniku sekarang. Secepatnya!

Tiba-tiba pintu dibuka dan salah satu kakak sepupuku masuk dengan tergesa-gesa mengabarkan kalau pesawat yang ditumpangi Idan mengalami keterlambatan sehingga tidak bisa datang cepat.

Kubalikkan badanku menghadap mereka berdua. Kakak sepupuku ternyata tidak menyadari jika aku sudah siuman dari tadi sehingga kabar itu langsung saja ia lontarkan di depan ibuku. Aku berusaha tegar di depan ibu dan hanya bisa menitikkan air mata dan menangis kecewa di dalam hati.

Sementara ibu dan sepupuku hanya berdiri menatapku iba. Ibu menghampiriku dan menenangkanku. Aku berharap jadi tenang tapi justru malah membuatku semakin merasakan kekecewaanku.

***

Tadinya aku sudah merasa lega karena terbagun dari mimpi burukku dan kembali ke dunia nyata namun ternyata mimpi buruk itu justru ada di depan mata di dunia nyata. Setelah kabar keterlambatan Idan yang sempat membuatku sangat kecewa, kabar buruk lain datang dari dokter yang tadinya sempat disembunyikan oleh ibu.

Kandunganku. Kandungan pertamaku, aku terpaksa harus merelakan kandunganku dikuret karena kemarin aku ternyata mengalami pendarahan hebat yang entah karena apa. Aku masih beruntung karena aku mampu bertahan melewati masa-masa kritisku dan siuman dari koma berhari-hari.

Aku benar-benar merasakan kekecewaan yang sangat besar saat ini. Idan yang tidak bersamaku, yang tidak menemaniku di saat-saat seperti ini. Saat ketika aku sangat membutuhkannya. Suami macam apa dia yang lebih mementingkan pekerjaan daripada istrinya sendiri? Dan sekarang aku harus kehilangan kandunganku. Kandungan pertamaku, anak pertamaku dengan Idan.

Terpuruk. Ya itulah kata yang tepat buatku sekarang. Aku pasrah.. Upit! Apa yang terjadi padamu? Mana kemandirianmu dulu? Mana ketegaranmu? Kenapa kamu jadi seperti ini sekarang?

Yang jelas aku sangat kecewa saat ini!

Idan baru datang hari berikutnya. Dia terlihat sangat letih dari perjalanan jauhnya. Tapi aku tidak peduli. Aku masih sangat kecewa padanya. Aku masih marah padanya. Dan apakah dia sudah tahu kabar gugurnya kandunganku? Ah pasti Ibu sudah memberitahunya.

“Maafin aku Pit.” Idan datang menghampiri tempatku berbaring dan menggenggam tanganku. Kuhempaskan tangannya dan kubalikan badanku membelakanginya. Aku sangat rindu padanya tapi untuk saat ini aku sedang tidak igin melihat wajahnya.

“Maafin aku Pit. Aku gak bisa menemanimu di saat-saat beratmu. Ibu dah cerita semuanya dan aku juga sangat sedih Pit dengan kejadian yang menimpamu saat ini. Yang menimpa anak kita juga..”.

Aku tetap bergeming. Pura-pura tak menghiraukan perkataannya. Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya sekarang tapi aku yakin pasti dia sedang pasang tampang sok memelas seperti biasanya ketika meminta maaf.

“Ayolah Pit, jangan begini terus. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf sekali Pit. Aku rindu sekali padamu Pit”.

Kata-kata terakhirnya manis sekali. Tapi tidak untuk saat ini. Kamu harus dihukum Dan. Kamu harus merasakan dan menyadari betapa kecewanya diriku padamu.

Aku ingin menghukumnya seperti dulu. Seperti ketika dia membuatku sakit selama seminggu dan terpaksa merelakan diriku dia rawat seperti bayi. Hanya saja kali ini aku tidak berminat menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu lagi seperti dulu. Terbukti sudah tidak mempan dan malah akan membuatku merasa iba padanya. Kali ini aku hanya ingin mendiamkannya.

Tapi reaksinya ternyata sama saja. Dia sama sekali tidak protes seperti dulu dan ikut-ikutan diam seribu bahasa. Huuh gimana sih? Kok tidak mengejar-ngejar lagi? Kok tidak berusaha lagi minta maaf dan menyalahkan diri sendiri? Padahal kan jelas dia yang salah? Payah!

Awas nanti! Ini akan berlangsung lama Dan! Jangan dikira aku hanya mengertak saja.

Sesaat kemudian Ibu datang. Melihat interaksi kami yang terkesan dingin, ibu pun mengajak Idan keluar dan bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling Cuma bilang: Sabaaarrr.

Tapi, eh kok Idan jalannya agak pincang ya? Kenapa dia? Ah masa bodoh aku gak peduli. Dia juga tidak memperdulikanku. Bahkan meninggalkanku di masa-masa mengandung anak kami berdua. Aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikukuh pergi. Egois!.

***

Beberapa hari kemudian kondisiku sudah agak baikan dan diperbolehkan pulang. Saat keluar dari rumah sakit dan menuju mobil jemputan aku tidak mau dipapah oleh Idan. Aku maunya sama Ibu saja. Ibu yang tahu kondisi hubungan kami saat ini mengiyakan saja.

Diperjalanan pulang kami tetap saling diam. Hanya Ibu yang lebih banyak bicara dengan kami. Itupun bergantian. Kadang berbicara dengan Idan, kadang berbicara denganku. Tidak ada interaksi yang hangat sama sekali di antara kami bertiga. Aku tetap bersikukuh tidak mau bicara dengan Idan, dan Idan juga diam saja di tempatnya menyetir mobil.

Sampai di rumah aku dipapah lagi oleh Ibu. Dan berat rasanya ketika ibu berpamitan pulang karena tugasnya menjagaku sudah selesai. Sudah ada Idan katanya. Ini berarti tidak ada lagi orang yang bisa kuajak bicara. Tidak juga Idan karea aku memang tidak ingin bicara padanya.

“Ibu pulang dulu ya? Jaga diri kamu baik-baik Pit. Jangan sedih lagi. Idan udah pulang tuh.” Sebelum keluar pintu Ibu masih sempat menasehatiku. Aku hanya mengangguk.

“Dan kamu Dan, ibu nitip Upit ya? Jagain baik-baik!”.

“Iya bu.” Jawab Idan

"Yaudah. Ibu berangkat dulu. Taksinya sudah nunggu dari tadi. Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikumusalam..”

Setelah mengucap salam ibu pergi dengan taksi. Aku masih mematung di teras sementara Idan masuk sendiri ke rumah.

***

Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku, kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan kami kembali dekat tapi malah makin renggang.

Aku mendiamkan Idan namun ternyata Idan juga tidak menyapaku. Berusaha mendekatiku pun tidak. Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia kecewa dengan sikapku? Sama kecewanya dengan kekecewaanku padanya? Atau jangan-jangan dia kecewa karena aku gagal menjaga kandunganku? Gagal mempertahankan anak kami?

Apalagi Idan makin sering pulang malam sekarang. Dan selama berhari-hari ini tak ada interaksi sama sekali di antara kami. Bertemu pun jarang karena dia akan berangkat sangat pagi dan pulangnya sangat larut malam. Dan kami juga tidak tidur sekamar lagi. Dia lebih suka tidur di sofa ruang tengah.

Ah berbagai dugaan yang kupikirkan makin membuatku gelisah berhari-hari. Jangan-jangan Idan sudah memiliki wanita idaman lain seperti yang sering kulihat di infotainment. Yang ketika hubungan suami-istri sudah mulai tidak harmonis maka salah satu akan melampiaskannya dengan menggaet pasangan idaman lain? Ah memikirkan itu saja sudah membuatku pusing dan bingung saat ini.

Daripada penasaran mending aku selidiki apa yang dilakukan Idan pada jam-jam siang begini di kantornya. Lagian aku bosan di rumah terus dalam masa penyembuhanku saat ini. Selain itu aku juga harus bertemu dengan Idan dan bicara. Aku ingin semua kembali baik lagi seperti dulu. Aku ingin semuanya jadi jelas.

Aku pun bertandang ke kantornya dengan mengendarai mobilku sendiri. Jalanan kota siang ini sering sekali macet dan itu membuatku makin sebel dan stress. Langit terlihat mendung dan akan turun hujan. Kelam dan kalut sekalut pikiranku sekarang.

Sesampai di kantor Idan dan memasuki pintu gerbang, satpam penjaganya hanya sepintas melirikku saja tanpa memeriksa atau menginterogasiku sepert yang biasa dilakukan terhadap tamu-tamu yang lain.

Mungkin karena melihat pakaianku yang terlihat resmi dengan blazer merah hatiku dan rok panjang hitamku dia mengira aku tamu penting yang biasa mendapat perlakuan khusus.

Masuk area parkir ternyata lumayan jauh dari pintu kantor. Kuparkir mobilku di lokai terdekat dengan pintu keluar agar tak repot nanti kalau mau balik.

Saat menuju pintu utama kantor aku melewati sebuah kantin fastfood kantor itu. Kantin itu terlihat besar dengan jendela kaca memenuhi sebagian besar dinding kantin itu.

Saat lebih dekat, dari luar jendela besar itu aku lihat Idan sedang duduk sendiri sambil membaca sebuh buku kecil dan menghadap secangkir kopi. Bergegas aku mendatanginya.

Saat jarakku dengan jendela besar itu tinggal beberapa langkah lagi aku berhenti karena kulihat Idan ternyata tidak sendiri. Ada seorang wanita muda cantik menghampiri Idan, duduk semeja dengan Idan dan mereka terlihat bercengkerama, tertawa-tawa bersama. Siapa dia? Jangan-jangan dugaanku benar?


(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar